"HUKUM TUHAN" YANG MEMENJARAKAN KEBEBASAN BERPIKIR UMAT

Islam memang telah mempaketkan ajarannya secara sempurna baik itu berupa perintah maupun larangan yang berkaitan dengan sisi-sisi kehidupan umatnya dalam sebuah paket yang sering dibahasakan sebagai Syariat Islam. Akan tetapi timbul pertanyaan apakah itu yang dinamakan "hukum tuhan" ?. Apakah ia harus diadopsi sepenuhnya dalam keseharian kehidupan kita ?. Ataukah - seperti yang dikatakan Ulil Abshar Abdalla bahwa sebenarnya tidak ada yang namanya Hukum Tuhan dengan pengertian seperti dipahami kebanyakan orang, tetapi yang ada adalah Nilai-nilai ke-Tuhanan yang universal serta prinsip-prinsip umum yang universal - yang harus dimaknai dan diadopsi ?.

Menganai tata cara pergaulan dalam konteks cara berpakaian, misalnya, dalam "hukum tuhan" telah digambarkan dan dijelaskan secara terperinci mengenai hal tersebut, tetapi apakah hal tersebut relevan dengan kondisi kekinian kita. DImana ketika seorang muslimah "dipaksa" mengenakan pakaian super besar dengan jilbab yang juga besar plus cadar yang menutup sebagaian wajahnya, disisi lain seorang muslim pria dengan gamis panjangnya plus jenggot yang terkadang tak terawat harus melawan tirai prasangka dalam pergaulan kesehariannya bermasyarakat yang multi kultur serta keberagaman agama dalam masyarakat kita kini. Bagaimana mungkin muslim/muslimah seperti itu bisa secara leluasa berkomunikasi dan bersosialisasi serta bersilaturahmi ditengah gencaran prasangka dan praduga buruk terhadap umat islam fundamental seperti sekarang ini. Kondisi saat ini akan begitu menposisikan muslim/muslimah dengan tata cara berpakaian demikian kearah pinggiran tatanan masyarakat bahkan bisa saja menjadi korban tindak praduga buruk masyarakat.
Dalam tataran ilmu, ketika seorang muslim/muslimah ingin masuk dan bergabung dalam kumunitas ilmu dalam rangka pembentukan dan penajaman daya berpikir intelektualnya, yang notabene komunitas tersebut adalah komunitas sarat keberagaman dan moderat, maka dia akan sadar bahwa "hukum tuhan" yang telah ia reduksikan dalam kehidupan kesehariannya itu telah membelenggu kehidupan sosialnya, karena secara tidak langsung ia akan merasa sungkan, risih, serta sekelumit gejolak hati lainnya sehingga menjadikannya tersisih dan melupakan hasratnya menuntaskan dahaga ilmunya. Pertanyaannya juga adalah apakah dengan kondisi "kulit" demikian, sebuah komunitas masyarakat akan secara rela menerimanya tanpa embel-embel praduga kecurigaan yang mungkin tak beralasan. Disinilah penulis merasa bahwa"hukum tuhan" yang dipersepsikan sempit telah memenjarakan kebebasan berpikir umat.

Bukankah Rasulullah sendiri menghimbau bahwa carilah ilmu sampai ke negeri cina. Dimana, esensi dari himbauan tersebut adalah kita harus mencari ilmu kemana saja pada siapa saja tanpa membatasi diri dari perbedaan kultur, budaya serta agama yang secara harfiah sudah menjadi bagian dari kehidupan itu sendiri. Jadi, apakah "hukum tuhan"  harus memenjarakan kita dalam sebuah klan keberagamaan kita sendiri. Padahal belum tentu, ilmu yang berasal dari klan yang berbeda adalah salah. Benar atau salah hanyalah milik Allah semata, manusia hanya dapat melakukan pembenaran.

Tentu, bagi penulis Hukum Tuhan yang diartikan sebagai Syariat Islam dan bersumber pada Al Quran dan Hadits jelas tidak mungkin mengandung nilai kesalahan karena bersumber pada Yang Maha Benar, Allah SWT. Sehingga, yang mungkin adalah interpretasi yang salah atau keliru terhadap pembacaan dan pemaknaan ajaran agama itu sendiri oleh para penganutnya. Dimana, banyak kepentingan terselubung dalam proses pembenaran suatu masalah dan kemudian memaksakan permasalahan tersebut pada setiap orang untuk diamini dan dilaksanakan. "hukum tuhan" yang dipahami tidak mampu ditransformasikan dalam langkah kesehariannya dalam konteks kekinian  sehingga mengakibatkan Islam dipersepsikan sebagai suatu "lembaga agama" yang beku, jumud dan mengungkung kebebasan. Apakah harus seperti ini ?

Sekarang sudah waktunya untuk kita mempelajari islam. Kenapa..? karena dulu atau bahkan sampai sekarang kita belum betul-betul serius mempelajari esensi keislaman kita. Kita hanya islam dikarenakan orang tua, saudara, kerabat, dan pendahulu kita adalah Islam. Apakah kita pernaha bertanya, seandainya pendahulu kita tidak dianugrahi nikmat islam, apakah kita sekarang bisa ber-Islam. Maka, sadarilah bahwa keislaman kita saat ini adalah anugerah terindah dari Allah SWT, untuk itu marilah kita kembali mempelajari islam, telusurilah, bacalah, maknailah ajaran islam itu dengan sebaik-baiknya pemahaman. Kita tidak perlu takut, karena percayalah ada anugerah Allah lainya yang akan menuntun kita tetap berada pada relNya yaitu "Mata Hati".

Kecerdasan merupakan kelebihan manusia dibandingkan dengan mahluk lain ciptaan-Nya. Allah Maha Besar, Ia tidak akan pernah merasa dirugikan atau dikecilkan ketika umat-Nya memaknai kembali keberislamannya dengan sudut pandang yang lain. Tuhan bahkan berbangga ketika kecerdasan yang dianugerahkan digunakan secara optimal mungkin guna penelusuran akan kebenaran yang hakiki demi peningkatan kualitas keimanan dan keberislaman umatnya. Insya Allah..

Jadi, tidak ada yang namanya hukum tuhan seperti yang dipersepsikan, melainkan nilai-nilai ke-Tuhanan yang universal. Dimana nilai-nilai inilah yang harus mampu ditransformasikan kedalam keseharian kehidupan, sehingga nantinya Islam kita adalah Islam yang kaffah. Jadi, kenapa harus takut berpikir ..?

Jumardi Nasir, S.Si

Kutipan bermakna : Aku bukanlah Aku, Aku adalah Meng-Aku, Aku adalah Aku saat Ajal Menjemputku

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama