Bercengkrama dengan Hak Asasi Manusia (HAM) mungkin bukan merupakan sesuatu yang luar biasa lagi, karena sosok HAM ini telah dikenali hampir milyaran umat manusia yang menginjakkan kakinya ditengah peradaban ini. Hampir setiap sudut bumi dengan ragam aneka aktivitas keduniaanya pasti bersentuhan dengan HAM. Betapa tidak, hal ini dikarenakan HAM menempati urutan pertama dari setiap sisi segi kehidupan manusia.
Hak asasi manusia memang menempati urutan teratas tingkat kebutuhan manusia, karena HAM dengan aura mulia yang terpancar dari setiap lekuk tubuhnya dapat menghantarkan peradaban manusia kearah yang lebih baik, berkemakmuran, berkeadilan, dan tentunya lebih manusiawi. Tapi, kita tidak boleh menutup mata fisikal dan hati kita akan kenyataan yang terpampang jelas di pelupuk mata. Bahwasanya dunia kehidupan ini tercipta dan bersumber dari keseimbangan Ilahiyah, begitu pun entitas yang menyusunnya pasti “thawaf” di pusat keseimbangan.
Hak asasi manusia dengan aura keindahan di sekujur tubuhnya akan selalu membawa kenikmatan bagi setiap nafas yang mengenal dan mendekapnya erat. Namun, apakah kita sadar dibalik kelembutan dan keindahan sosoknya terselubung sisi hitam yang amat gelap pekat yang mampu runtuhkan bangunan mewah peradaban manusia.
HAM dengan kemulian dirinya terkadang diposisikan sebagai sosok terhina. Penerapan fitrah HAM ditengah sesaknya peradaban terkadang jauh dari harapan dan sangat memperihatinkan yang tentunya mengecewakan. Ketegaran, kelembutan dan keuniversalannya sering diperalat, dijungkirbalikkan bahkan dijadikan kedok penindasan.
Hal inilah yang menjadi trend setter sekarang. Banyak manusia munafik yang bercadar HAM melakukan penindasan terhadap sesamanya. Kini, pemerintahan yang selalu menyombongkan diri sebagai adikuasa pun turut melakukan hal yang sama, menindas, bertopengkan kemanusiaan. Ironisnya lagi, manusia yang mengaku kodratnya terlahir dengan kebebasan sebagai manusia bebas yang manusiawi sering mengotak-atik dan merekayasanya menjadi anti bodi yang selalu dapat memproteksi diri mereka dari ancaman akan perbuatan salah dan tidak bertanggungjawab yang dilakukannya.
Sungguh ironis kehidupan ini, HAM yang dimuliakan dan dikagumi akan keindahan parasnya kini seakan berenkarnasi menjadi virus menjijikkan yang mulai menggerogoti kehidupan peradaban manusia. Kini, sang pilot kehidupan manusia -suara hati- yang selalu berucap kebenaran di bibir manisnya mulai berontak dengan segudang pertanyaan tak terbatas. Sebenarnya apa HAM itu? Dimanakah ia berproses? Apa makna di balik penciptaan HAM? Bagaimana memproses HAM itu? Panduan apa yang layak dipakai guna mengolah HAM tersebut? Bagaimana sebenarnya pengolahan HAM untuk kesejahteraan peradaban manusia? Mengapa ada penyalah gunaan HAM? Mengapa kini HAM membawa malapetaka? Mengapa HAM berubah menjadi senjata pemusnah peradaban? Mengapa begini? Mengapa begitu? Dan tentunya masih ada sederetan pertanyaan tak terbatas mengenai sosok indah nan mulia namun misterius ini.
Untuk itu, penulis mencoba dengan segenap keterbatasannya mencoba masuk, mengenal lebih dalam jati diri HAM itu sendiri dan mencoba mengajukan pertanyaan pada suara hati sosok HAM tersebut “Apa sebenarnya yang diharapkan dari penciptaannya ditengah peradaban manusia?”.
Pengertian Dasar Hak Asasi Manusia (HAM)
Manusia terlahir sebagai manusia bebas. Hal inilah yang ditegaskan dalam Islam, karena manusia adalah bersaudara yang saling mengasihi dan mempunyai derajat yang sama –dihadapan Tuhannya- maka manusia tidak boleh diperbudak oleh sesama manusia.
Manusia dalam Islam adalah manusia bebas, bebas dalam kemauan dan perbuatan, bebas dari tekanan dan paksaan orang lain, bebas dari eksploitasi orang lain dan tentunya bebas dari pemilikan orang lain. Manusia dalam Islam hanyalah milik Allah dan hamba Allah, Abdi Allah dan tak boleh menjadi hamba selain dari Allah. Inilah pedoman fundamental manusia dalam mendinamikai kehidupannya mengemban misi khalifatullah.
Sejak manusia mengedipkan mata melihat keindahan dunia dengan tangisan bahagia, ia pun telah siap berjuang memikul amanah misi sucinya tersebut. Ia telah dikaruniakan modal awal yang sangat berharga bagi kehidupannya yakni hak-hak dasar yang paling asasi, yang terus melekat erat. Hak-hak tersebut tentunya dimiliki karena ia adalah manusia.
Hak asasi manusia berlaku bagi seluruh umat manusia yang dengan kekuatan dan keperkasaanya, ia mampu menafikkan faktor-faktor pemisah seperti ras, agama, warna kulit, kasta, kepercayaan, jenis kelamin, kebangsaan serta sederetan kotak, parameter pembatasan lainnya di dalam pemberlakuan HAM itu sendiri.
HAM bersifat supra legal, ia tidak bergantung pada adanya suatu negara atau Undang-Undang Dasar, mempunyai wewenang untuk bertindak lebih tinggi dan lepas dari pemerintah. HAM dimiliki manusia bukan karena perbuatan amal dan kemurahan hati negara tapi karena berasal dari sebuah sumber yang lebih unggul daripada hukum buatan manusia.
HAM, Sesuatu yang harus kita pelajari
Sebagaimana paparan diatas, yakni konsep fitrah manusia bahwa ia terlahir sebagai manusia bebas dengan sederetan hak-hak yang dimilikinya secara kodrati. Namun manusia tidak pernah berikhtiar untuk sadar bahwasanya mereka tidak terlahir dengan suatu pengetahuan tertentu tentang HAM itu sendiri dan karena itu manusia tidak mengetahui menurut kodratnya, bagaimana seharusnya mendinamikai HAM itu sendiri. Hal inilah yang menyebabkan kita tidak mengetahui bagaimana seharusnya bertindak ketika dihadapkan pada situasi dimana kita sendiri atau seseorang yang lain diluar diri kita berpotensi untuk melanggar apa yang kita sebut hak asasi manusia.
Potensi inilah yang sebenarnya menjadi senjata pemusnah peradaban. Keegoan dan kesombongan manusia yang cendrung hanya mempelajari hal-hal baru yang ditemuinya dalam kehidupan dan selanjutnya menafikkan hal-hal yang tertanam dalam dirinya –sejak ia dilahirkan- inilah yang menjadikan ia buta, tuli, tidak peka, dan cendrung menindas yang pada akhirnya menghantarkan manusia pada gerbang kehancuran tatanan peradaban yang ia bangun.
Untuk itulah, manusia diharapkan dapat tunduk, melepaskan keegoan yang terpatri dalam jiwa dan berusaha untuk terus bersentuhan, mempelajari dan selanjutnya mengenal karakteristik HAM dengan baik. Dengan begitu, semakin kita memahami HAM, maka kita akan menghormatinya.
Semua ini membutuhkan sebuah proses belajar guna menghidupkan nilai-nilai hak sasi manusia di dalam kesadaran kita bahkan terpatri dalam alam tidak sadar kita. Proses belajar inilah yang selanjutnya dinamakan sosialisasi. Sosialisasi diartikan sebagai sebuah proses yang terjadi sejak hari bersejarah, hari pertama ketika kita dilahirkan, dan dimulai dengan orang tua yang selalu memperlihatkan, membantu, mengajarkan apa yang harus dilakukan.
Institusi pendidikan merupakan bagian selanjutnya dari pross tersebut. Penanaman budi pekerti pada anak didik di instansi tersebut merupakan sesuatu yang amat mulia. Oleh karena itu, pada tahapan selanjutnya kita harus selalu menghayati dan mengimplementasikan identitas diri yang berkostumkan keindahan manik-manik hak-hak asasi dalam setiap sendi kehidupan bermasyarakat.
Untuk itu, gagasan menghormati HAM merupakan sesuatu yang harus dibangkitkan dalam masyarakat. Jadi, sekali lagi manusia dengan akal yang dikaruniakan padanya harus mampu mendinamikai dengan baik proses belajar –sosialisasi- ini. Karena hanya dengan konsep inilah manusia dapat menghormati HAM dan tentunya lebih manusiawi. Dengan ini, sosok HAM akan merasa sangat bersyukur dilahirkan di tengah peradaban manusia karena misinya menghantarkan manusia ke gerbang kesejahteraan peradaban, sukses.
Pergelutan HAM dalam Peradaban
Ide hak asasi manusia timbul pada abad ketujuh belas dan delapan belas masehi. Kemunculannya dilatar belakangi dengan adanya penindasan kedigdayaan dan keabsolutan raja-raja dan kaum feodal di zaman itu terhadap rakyat lapisan bawah yang menjadi budak penguasa. Mereka walaupun mempunyai hak-hak yang sama sebagai manusia tetapi diperlakukan sewenang-wenang. Sebagai reaksi terhadap keadaan pincang ini, timbullah gagasan agar lapisan bawah -yang juga merupakan manusia itu- diangkat derajatnya agar nantinya tercipta persamaan hak.
Hal inilah kemudian selanjutnya ditindak lanjuti dengan adanya berbagai bentuk deklarasi, pernyataan hak dan kebebasan manusia. Diantaranya yang paling terkenal dan sering menjadi acuan adalah Declaration of Human Rights yang dicetuskan PBB pada tahun 1948.
Dari tahun ke tahun, deklarasi ini mulai menghipnotis, memancarkan aura magis kemuliaannya, mengharuskan manusia peradaban lebih manusiawi. Misi mulia deklarasi ini pun disambut hangat oleh segenap umat peradaban.
Namun terkadang manusia yang sok pintar, menindas HAM dan memberangus misi sucinya. HAM terkadang digunakan sebagai kedok penindasan dibalik dukungan materi keduniaan. HAM dijadikan tameng agar dapat keluar dari norma, lepas dari “ikatan Tuhan” dan ironisnya lagi HAM digunakan sebagai pembenaran atau alasan yang tepat untuk berbuat perbuatan yang tidak bertanggungjawab dan menghindar dari konsekuensi perbuatannya tersebut, dengan tameng HAM.
Sekali lagi, manusia tidak sadar akan konsekuensi perbuatannya itu. Hasil kepintaran keduniaannya yang berhasil melakukan kloning terhadap HAM, kini perlahan menghantarkan peradaban manusia kearah kehancuran, musnah akibat virus keegoan, virus kloning yang menyerang sendi-sendi kehidupan peradaban. Peradaban sejahtera, ideal, penuh damai pun musnah.
Untuk mencegah hal tersebut, kita sebagai manusia yang mulia, yang dengan kemuliaannya dikaruniakan akal, hati nurani dan integritas sifat Tuhan dalam diri, harus mampu mencegah kehancuran peradaban tempat kita berpijak. Hal ini tentunya tidak mudah bak membalikkan telapak tangan. Namun, perjalanan kesuatu tujuan takkan mampu terwujud tanpa kestabilan dan keteguhan langkah pertama. Langkah pertama, kedua, ketiga dan seterusnya menghantarkan manusia pada kesejahteraan dan kemajuan peradaban.
Salah satu langkah yang paling tepat diteguhkan sebagai langkah pertama, langkah awal, adalah menundukkan keegoan, rontokkan kesombongan, dialog hati nurani bahwasanya selain hak-hak asasi yang melekat erat sejak kita membuka mata, menangis dilahirkan ditengah peradaban, ada sesuatu yang menjadi pasangan abadi fitrah kebebasan dan hak kita itu, yakni tanggungjawab akan kewajiban asasi manusia.
Kewajiban-kewajiban asasi manusia ini juga terpatri dalam diri, untuk itu perlu kita olah, mendinamikainya karena inilah yang akan menyelaraskan kehidupan kita nantinya. Dengan penyadaran akan kewajiban asasi yang dimiliki manusia secara kodrati maka setiap manusia akan dihantarkan pada kehidupan yang selaras dan pada akhirnya berdiri, mengetuk dan mencoba masuk dalam bangunan kemuliaan peradaban.
Manusia terlahir sebagai manusia bebas. Hal inilah yang ditegaskan dalam Islam, karena manusia adalah bersaudara yang saling mengasihi dan mempunyai derajat yang sama –dihadapan Tuhannya- maka manusia tidak boleh diperbudak oleh sesama manusia.
Manusia dalam Islam adalah manusia bebas, bebas dalam kemauan dan perbuatan, bebas dari tekanan dan paksaan orang lain, bebas dari eksploitasi orang lain dan tentunya bebas dari pemilikan orang lain. Manusia dalam Islam hanyalah milik Allah dan hamba Allah, Abdi Allah dan tak boleh menjadi hamba selain dari Allah. Inilah pedoman fundamental manusia dalam mendinamikai kehidupannya mengemban misi khalifatullah.
Sejak manusia mengedipkan mata melihat keindahan dunia dengan tangisan bahagia, ia pun telah siap berjuang memikul amanah misi sucinya tersebut. Ia telah dikaruniakan modal awal yang sangat berharga bagi kehidupannya yakni hak-hak dasar yang paling asasi, yang terus melekat erat. Hak-hak tersebut tentunya dimiliki karena ia adalah manusia.
Hak asasi manusia berlaku bagi seluruh umat manusia yang dengan kekuatan dan keperkasaanya, ia mampu menafikkan faktor-faktor pemisah seperti ras, agama, warna kulit, kasta, kepercayaan, jenis kelamin, kebangsaan serta sederetan kotak, parameter pembatasan lainnya di dalam pemberlakuan HAM itu sendiri.
HAM bersifat supra legal, ia tidak bergantung pada adanya suatu negara atau Undang-Undang Dasar, mempunyai wewenang untuk bertindak lebih tinggi dan lepas dari pemerintah. HAM dimiliki manusia bukan karena perbuatan amal dan kemurahan hati negara tapi karena berasal dari sebuah sumber yang lebih unggul daripada hukum buatan manusia.
HAM, Sesuatu yang harus kita pelajari
Sebagaimana paparan diatas, yakni konsep fitrah manusia bahwa ia terlahir sebagai manusia bebas dengan sederetan hak-hak yang dimilikinya secara kodrati. Namun manusia tidak pernah berikhtiar untuk sadar bahwasanya mereka tidak terlahir dengan suatu pengetahuan tertentu tentang HAM itu sendiri dan karena itu manusia tidak mengetahui menurut kodratnya, bagaimana seharusnya mendinamikai HAM itu sendiri. Hal inilah yang menyebabkan kita tidak mengetahui bagaimana seharusnya bertindak ketika dihadapkan pada situasi dimana kita sendiri atau seseorang yang lain diluar diri kita berpotensi untuk melanggar apa yang kita sebut hak asasi manusia.
Potensi inilah yang sebenarnya menjadi senjata pemusnah peradaban. Keegoan dan kesombongan manusia yang cendrung hanya mempelajari hal-hal baru yang ditemuinya dalam kehidupan dan selanjutnya menafikkan hal-hal yang tertanam dalam dirinya –sejak ia dilahirkan- inilah yang menjadikan ia buta, tuli, tidak peka, dan cendrung menindas yang pada akhirnya menghantarkan manusia pada gerbang kehancuran tatanan peradaban yang ia bangun.
Untuk itulah, manusia diharapkan dapat tunduk, melepaskan keegoan yang terpatri dalam jiwa dan berusaha untuk terus bersentuhan, mempelajari dan selanjutnya mengenal karakteristik HAM dengan baik. Dengan begitu, semakin kita memahami HAM, maka kita akan menghormatinya.
Semua ini membutuhkan sebuah proses belajar guna menghidupkan nilai-nilai hak sasi manusia di dalam kesadaran kita bahkan terpatri dalam alam tidak sadar kita. Proses belajar inilah yang selanjutnya dinamakan sosialisasi. Sosialisasi diartikan sebagai sebuah proses yang terjadi sejak hari bersejarah, hari pertama ketika kita dilahirkan, dan dimulai dengan orang tua yang selalu memperlihatkan, membantu, mengajarkan apa yang harus dilakukan.
Institusi pendidikan merupakan bagian selanjutnya dari pross tersebut. Penanaman budi pekerti pada anak didik di instansi tersebut merupakan sesuatu yang amat mulia. Oleh karena itu, pada tahapan selanjutnya kita harus selalu menghayati dan mengimplementasikan identitas diri yang berkostumkan keindahan manik-manik hak-hak asasi dalam setiap sendi kehidupan bermasyarakat.
Untuk itu, gagasan menghormati HAM merupakan sesuatu yang harus dibangkitkan dalam masyarakat. Jadi, sekali lagi manusia dengan akal yang dikaruniakan padanya harus mampu mendinamikai dengan baik proses belajar –sosialisasi- ini. Karena hanya dengan konsep inilah manusia dapat menghormati HAM dan tentunya lebih manusiawi. Dengan ini, sosok HAM akan merasa sangat bersyukur dilahirkan di tengah peradaban manusia karena misinya menghantarkan manusia ke gerbang kesejahteraan peradaban, sukses.
Pergelutan HAM dalam Peradaban
Ide hak asasi manusia timbul pada abad ketujuh belas dan delapan belas masehi. Kemunculannya dilatar belakangi dengan adanya penindasan kedigdayaan dan keabsolutan raja-raja dan kaum feodal di zaman itu terhadap rakyat lapisan bawah yang menjadi budak penguasa. Mereka walaupun mempunyai hak-hak yang sama sebagai manusia tetapi diperlakukan sewenang-wenang. Sebagai reaksi terhadap keadaan pincang ini, timbullah gagasan agar lapisan bawah -yang juga merupakan manusia itu- diangkat derajatnya agar nantinya tercipta persamaan hak.
Hal inilah kemudian selanjutnya ditindak lanjuti dengan adanya berbagai bentuk deklarasi, pernyataan hak dan kebebasan manusia. Diantaranya yang paling terkenal dan sering menjadi acuan adalah Declaration of Human Rights yang dicetuskan PBB pada tahun 1948.
Dari tahun ke tahun, deklarasi ini mulai menghipnotis, memancarkan aura magis kemuliaannya, mengharuskan manusia peradaban lebih manusiawi. Misi mulia deklarasi ini pun disambut hangat oleh segenap umat peradaban.
Namun terkadang manusia yang sok pintar, menindas HAM dan memberangus misi sucinya. HAM terkadang digunakan sebagai kedok penindasan dibalik dukungan materi keduniaan. HAM dijadikan tameng agar dapat keluar dari norma, lepas dari “ikatan Tuhan” dan ironisnya lagi HAM digunakan sebagai pembenaran atau alasan yang tepat untuk berbuat perbuatan yang tidak bertanggungjawab dan menghindar dari konsekuensi perbuatannya tersebut, dengan tameng HAM.
Sekali lagi, manusia tidak sadar akan konsekuensi perbuatannya itu. Hasil kepintaran keduniaannya yang berhasil melakukan kloning terhadap HAM, kini perlahan menghantarkan peradaban manusia kearah kehancuran, musnah akibat virus keegoan, virus kloning yang menyerang sendi-sendi kehidupan peradaban. Peradaban sejahtera, ideal, penuh damai pun musnah.
Untuk mencegah hal tersebut, kita sebagai manusia yang mulia, yang dengan kemuliaannya dikaruniakan akal, hati nurani dan integritas sifat Tuhan dalam diri, harus mampu mencegah kehancuran peradaban tempat kita berpijak. Hal ini tentunya tidak mudah bak membalikkan telapak tangan. Namun, perjalanan kesuatu tujuan takkan mampu terwujud tanpa kestabilan dan keteguhan langkah pertama. Langkah pertama, kedua, ketiga dan seterusnya menghantarkan manusia pada kesejahteraan dan kemajuan peradaban.
Salah satu langkah yang paling tepat diteguhkan sebagai langkah pertama, langkah awal, adalah menundukkan keegoan, rontokkan kesombongan, dialog hati nurani bahwasanya selain hak-hak asasi yang melekat erat sejak kita membuka mata, menangis dilahirkan ditengah peradaban, ada sesuatu yang menjadi pasangan abadi fitrah kebebasan dan hak kita itu, yakni tanggungjawab akan kewajiban asasi manusia.
Kewajiban-kewajiban asasi manusia ini juga terpatri dalam diri, untuk itu perlu kita olah, mendinamikainya karena inilah yang akan menyelaraskan kehidupan kita nantinya. Dengan penyadaran akan kewajiban asasi yang dimiliki manusia secara kodrati maka setiap manusia akan dihantarkan pada kehidupan yang selaras dan pada akhirnya berdiri, mengetuk dan mencoba masuk dalam bangunan kemuliaan peradaban.
Tags:
MY PERSPEKTIVE