HARAP CEMAS DEMOKRASI, SEBUAH PERSPEKTIF KEGELISAHAN ANAK BANGSA

Bayi Ajaib, Reformasi..

Beberapa tahun telah berlalu, semenjak disulutnya obor reformasi, obor yang nyalanya masih terus menerangi kegelapan demokrasi bangsa ini. Obor itulah yang menjadi pengharapan insan bangsa ini agar dapat memberikan cahaya terangnya untuk menyinari tiap sudut ruang demokrasi bangsa Indonesia. Namun, apakah sinar obor itu telah berhasil memberi penyinaran optimal kepada bangsa ini? Apakah bangsa ini telah menemukan jalan yang benar dan tepat di tengah kegelapan demokrasi yang sementara ditapakinya ?

Reformasi yang terlahir dari pengekangan orde sebelumnya ini adalah komitmen nyata dari segenap elemen bangsa dalam ikhtiarnya menghadirkan perubahan sekaligus pembaharuan tatanan berdemokrasi dan kehidupan bangsa Indonesia. Reformasi adalah sebuah ledakan pemikiran yang direalisasikan demi menjawab kebutuhan bangsa yang selalu bertanya akan kemana bangsa ini dilabuhkan ? Di awal kelahirannya – seperti anak manusia – banyak senyum yang coba menyapanya, banyak pesta yang diadakan untuk menyambutnya, banyak jiwa yang mengucap syukur akan kehadirannya dan tentunya banyak harapan yang ditaruh dipundaknya. Bayi kecil reformasi itu terus bertumbuh mendinamikai waktu yang semakin merentakan ibu pertiwinya. Telah banyak proses yang ia lalui, untuk dapat belajar berkembang, sekedar menegaskan eksistensi, dan juga belajar melompati rintangan.


Reformasi bak bayi ajaib yang terlahir sebagai dewa penyelamat, menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan dan ketertindasan. Konsepsi seperti ini praktis menimbulkan banyak harapan. Di tengah harapan yang memuncak inilah, pemaknaan yang salah terhadap esensi reformasi akan dapat menimbulkan berbagai masalah di kemudian hari. Masalah yang kemudian tampak terlahir akibat euforia anak bangsa dalam menanggapi kelahiran bayi ajaib itu. Euforia ini kemudian menimbulkan gejala sosial politik yang amat menonjol diantaranya kebebasan di satu pihak dan kekerasan di pihak lainnya.

Transisi demokrasi seakan mengeluarkan anak bangsa dari liang neraka, yang selama ini menindasnya, menyengsarakannya, menciptakan tirani dalam kehidupannya. Rasa bebas yang baru diraihnya itu seakan mengalahkan rasionalitas anak bangsa. Semua berlomba-lomba menegaskan eksistensi bahwa ia telah bersuara kembali. Semua berteriak menyuarakan apa saja yang dapat disuarakan. Tidak pernah berpikir akan hakikat apa yang disuarakannya, baik atau buruk tetapi ia suarakan. Implikasi logis tak pernah mau ia pusingkan, yang penting bersuara. Sungguh suatu euforia kebebasan, kebebasan tak berbatas. Karena, implikasi logis dari benturan antar kebebasan melahirkan kekerasan.

Otonomi Daerah, Berkah atau Musibah Demokrasi

Kebebasan yang terlahir dari rahim reformasi, telah semakin merasuk kedalam jiwa seluruh anak bangsa. Banyak pemikiran - pemikiran kebangsaan yang terlahir dari embrio ini. Otonomi daerah adalah salah satu gagasan besar yang terlahir untuk menekan dahaga kebebasan yang telah lama ter-tirani. Rakyat yang telah lama dibungkam, ditipu oleh berbagai macam kebijakan sentralisasi pemerintah, kemudian mulai bersuara, menyuakan desentralisasi. Harapan terus melambung mengiringi perjalanan konsep tersebut disepakti. Banyak kritik dan saran menyertai jejak langkah perjalanannya. Namun harapan besar tetap melanggengkan perjalanannya, sampai ia pun menghiasi tatanan sejarah demokrasi bangsa. Hidup Demokrasi !!

Program desentralisasi yang disulut anak bangsa terus bergulir hingga kini sambil terus menopang beban harapan rakyat dipundaknya. Desentralisasi diharapkan mampu menjawab kebutuhan anak bangsa (dibaca rakyat) di daerah akan penghidupan yang layak. Tirani yang diciptakan orde sebelumnya dirasakan sangat menyesakkan kehidupan rakyat, sehingga penghidupan layak yang dicita-citakan bangsa ini jauh dari penginderaan. Semua suara difokuskan untuk terus mendukung program ini. Tapi, sedikit sekali yang sadar, untuk berpikir dan menganalisa implikasi logis dari penerapan program ini. Semua hanya mampu bersuara, namun tak kuasa berpikir. Mimpi indah menghipnotis sendi kehidupan anak bangsa.

Memang, tak bisa dipungkiri desentralisasi cukup membawa dampak positif yang juga cukup berarti. Tapi, juga tak bisa dinafikkan banyak hal-hal negatif yang tercipta darinya. Itu semua tidak cukup hanya dilihat, tapi harus dicarikan sebuah solusi. Segenap potensi sumber daya daerah telah dapat dinikmati dengan desentralisasi. Daerah yang cerdas dan bijak telah berhasil memanfaatkan dan menikmati kondisi ini., tapi, bagaimana dengan daerah yang tidak seberuntung itu ? Beberapa daerah memang bisa dijadikan model pemaknaan otonomi daerah yang berhasil, tapi bukankah tidak sedikit daerah yang masih tetap menjadi objek penderita ?

Fenomena-fenomena positif banyak terlahir dari proses ini, itu semua penting untuk kita hargai. Tapi, yang lebih penting, kita harus tetap memikirkan penanggulangan fenomena-fenomena negatif yang juga tercipta. Pemekaran daerah adalah salah satu fenomena yang juga merupakan konsekuensi logis dari penerapan otonomi daerah. Kebebasan berekspresi yang memuncak, memang membutuhkan banyak lahan eksperimen, dan pemekaran daerah adalah solusi praktis menjawab kebutuhan itu. Suatu niat yang tulus untuk menciptakan lahan - lahan berekspresi, yang tentunya harus kita hargai. Namun, ketulusan niat itu, apakah mampu tereduksi dalam tahapan perjalanannya ? Sejauh ini kita hanya melihat kepentingan pragmatis dibalik program pemekaran daerah yang sekarang giat dilaksanakan. Niat tulus sebagai embrio, disusupi kepentingan pragmatis untuk berkuasa, yang pada akhirnya nanti menelantarkan semua harapan yang diemban sebelumnya.

Banyaknya daerah-daerah baru yang terlahir dari rahim pemekaran akan semakin menambah kompleksitas dinamika perjalanan kehidupan berbangsa. Dengan banyaknya daerah-daerah baru akan semakin memperlebar lingkaran-lingkaran kekuasaan. Hal ini pastinya membutuhkan lahirnya banyak pemimpin, pemimpin yang benar-benar memimpin, bukan pemimpin yang hanya berkuasa. Dengan pemekaran ini, beramai-ramai anak bangsa mendaftarkan diri menjadi pemimpin, entah ia memang berniat memimpin ataukah hanya sekedar berkuasa. Telah banyak daerah yang coba dimekarkan, entah itu untuk lebih memakmurkan rakyatnya ataukah hanya mencari lahan baru kekuasaan.

Selain dampak positif yang dihasilkan, pemekaran daerah mencetak banyak masalah yang segera harus ditanggapi dan diselesaikan. Korupsi yang menjadi penyakit masyarakat semakin mendapat lahan empuk dengan hadirnya wilayah-wilayah otonom baru. Wilayah yang masih cukup hijau, yang nantinya akan dihujani banyak anggaran. Anggaran yang sangat cukup untuk dikorupsi para penghianat negeri.

Wilayah-wilayah baru yang segera butuh sosok pemimpin, semakin giat berkreasi. Bukan kreasi positif mencari sosok pemimpin yang tepat, tapi berkreasi memanipulasi pemimpin. Banyak dana berarti yang harus dibuang untuk proses pencarian pemimpin daerah. Tidak cukup sampai disitu, semua sumber daya dieksploitasi habis untuk kepentingan tersebut. Puji syukur, jika output dari hal itu adalah munculnya sosok pemimpin yang tepat, tapi jika tidak naudzubillah.

Belum cukup sampai disitu, rantai penderitaan terus melilit bangsa ini. Ketidakpuasan pasca pemilihan kepala daerah tersebut melahirkan konflik berkepanjangan. Konflik yang sebenarnya tidak perlu terjadi, jika semua dapat berproses secara arif. Tapi, bagaimana bisa arif, jika telah banyak dana dan tenaga yang telah tercurah ?, mungkin itulah nada mereka ! Sebaliknya, apakah kita terus percaya saja pada sang juara yang telah memenangi PILKADA, apakah ia masih tetap menjaga komitmen kepemimpinannya setelah habis-habisan bertarung di ring PILKADA ? Sebuah pertanyaan besar ! Sejatinya, pengeluaran itu harus berbanding lurus dengan pemasukan, yang menjadi ketakutan ialah, pemimpin terpilih bukannya berkuasa untuk memakmurkan rakyatnya tapi malah sebaliknya memanfaatkan kekuasaanya demi menambal kas pengeluaran sebelumnya yang selanjutnya bertekad mensejahterakan pribadi dan golongannya. Inilah bencana demokrasi kita. Demokrasi yang tak pernah menyentuh garis tujuan tapi berbelok kearah tujuan pragmatis yang tak bertanggung jawab.

Inilah yang mengharuskan kita untuk kembali bertanya, apakah otonomi daerah yang kita lahirkan adalah memang sebuah berkah ataukah hanya sebuah bencana. Kita memang harus kembali berpikir untuk memaknai demokrasi, bukan pemaknaan yang absurd tapi sebuah pemaknaan yang paripurna. Agar demokrasi yang kita agungkan bisa menjadi sebuah berkah, bagi segenap anak bangsa (dibaca : rakyat) di tanah air tercinta ini. Hidup Demokrasi !! Marilah kita kembali mereviu 10 tahun perjalanan reformasi. Apakah kita masih harus tetap menopang perjalanannya, ataukah kita butuh bayi ajaib baru dari rahim demokrasi kita ini. Ingatlah, demokrasi adalah tetap sebuah DEMOKRASI, janganlah kita menjadikannya sebuah DEMOCRAZY, yang hanya mempertontonkan kegilaan anak bangsa yang semakin menggila karena kebebasannya.46
Jumardi Nasir, S.Si

Kutipan bermakna : Aku bukanlah Aku, Aku adalah Meng-Aku, Aku adalah Aku saat Ajal Menjemputku

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama